Dauzan Farouk merupakan Bapak delapan
putra-putri kelahiran Kampung Kauman, Yogyakarta pada 1925 itu,
mendirikan Mabulir karena terinspirasi dari masa kecilnya membantu
ayahnya, H. Muhammad Bajuri, yang mengelola Taman Pustaka Muhammadiyah
pada zaman sebelum Indonesia Merdeka.Sosok yang saya lihat di media cetak nasional pada 3 tahunan lalu, saat itu sudah ringkih termakan usia. Namun, sebagai bookaholic,
saya terpesona dengan “perjuangannya”. Pada tahun 1989 Mbah Dauzan
menghabiskan uang pensiun veteran sebesar Rp 500.000 untuk membeli buku
kemudian mendirikan perpustakaan bergilir bernama Mabulir. Mbah Dauzan
pun berkeliling kota Gudeg mengedarkan buku-bukunya secara gratis.
Setiap hari sejak bangun tidur, lelaki
tua itu membaca buku, merapikan dan memperbaiki sampul sebagian
buku-bukunya yang mulai rusak. Aktifitas meminjamkan aneka buku
dilakukannya sore hari dengan bersepeda atau naik bis kota. Ia
mendatangi kelompok bermain anak, siswa-siswa di sekolah, remaja mesjid,
dan pemuda Karang Taruna. Kelompok pengajian, tukang becak yang tengah
mangkal, bahkan para ibu penjual di pasar-pasar, tak luput menjadi
‘sasaran’ untuk dipinjami buku secara gratis.
Konsistensinya membuahkan penghargaan
seperti Nugra Jasadarma Pustaloka dari Perpustakaan Nasional tahun 2005 ,
Paramadina Award 2005 dan Lifetime Achievement Award dari Sabre
Foundation, sebuah NGO di Massachusetts, Cambridge. Pada April 2007 di
acara World Book Day Indonesia, Mbah Dauzan Farouk mendapat gelar
sebagai Pejoeang Literasi Indonesia.
Tapi tentu bukan penghargaan yang Mbah
Dauzan cari. Namun tentu ini adalah kata hati yang direalisasikan dalam
bentuk nyata untuk suatu nilai yang tidak kuantitatif.
Saat kecil, saya memang lumayan hidup
berkecukupan aneka buku dari orangtua. Mulai dari buku pengetahuan umum,
biografi ringan, komik-komik, buku dogeng, maupun majalah dan Koran.
Saat berkunjung ke perpustakaan daerah saya sempat berkomentar dalam
hati, “Lho, ternyata masih lebih menarik koleksi buku di rumah saya.”
Tapi mohon maaf kepada siapapun yang tersinggung pada pikiran saya saat
itu, karena saya baru sadar setelah beranjak dewasa bahwa tidak semua
orang bernasib seperti saya. Orangtua saya, meski kondisi hidup bukan
terbilang mewah, namun masih meluangkan uangnya untuk menambah khazanah
pengetahuan semua anak-anaknya. Selain itu, saya kebetulan mengenyam
pendidikan dari sekolah dasar hingga menengah atas di sekolah yang
perpustakaan nya memadai dari segi fisik ruangan maupun koleksi.
Akan tetapi, tentu tidak semua bisa
seperti saya kecil. Ongkos produksi buku yang terus menerus melambungkan
harga jual, begitu banyak pilihan buku yang tidak bisa diikuti kondisi
finansial, atau karena kebutuhan primer yang mau tidak mau harus
dicukupi sehingga buku menjadi prioritas tersier, masalah aksesbilitas
bacaan, dan problematika mencerdaskan bangsa, tentu menjadi salah satu
dari sekian banyak alasan mengapa kita membutuhkan banyak Mbah Dauzan.
Mbah Dauzan selalu membaca semua buku
sebelum dipinjamkan kepada para pelanggan, walaupun untuk membacanya
harus menggunakan kaca pembesar, sebagai bentuk ingin memberikan bacaan
yang terbaik.
Lelaki yang tidak menyelesaikan kuliahnya
di Fakultas Sastra Timur Universitas Gadjah Mada itu telah mengambil
peran dalam mencerdaskan manusia melalui buku bacaan yang dipinjamkan
dari satu tangan ke tangan lain. Namun satu hal yang harus diingat pula,
ketika berurusan dengan ‘pinjam meminjam buku’ maka problem lainnya
adalah kadang pembaca buku tidak memperlakukan buku dengan layak. Pernah
menemukan buku perpustakaan yang disobek pada halaman tertentu? (Bahkan
saya pernah menemukan hal ini di koleksi skripsi S1 di perpustakaan).
Pernah mendapat buku yang dikembalikan dalam kondisi lecek, keriting,
atau, lebih parah, terkena minyak? Nah, saatnya kita juga memulai
menumbuhkan semangat “Sayang Buku”. Meski itu bukan milik kamu pribadi.
Namun, sosok seperti Mbah Dauzan tidak
berpikir materi. Ia meminjamkan dengan sistem bergilir, yang disebutnya
sebagai sistem multilevel reading. “Mengelola perpustakaan keliling
adalah bisnis dengan keuntungan abstrak. Landasannya kepercayaan
sehingga aturannya tidak perlu birokratis. Dagangan Tuhan. Tidak perlu
ada KTP atau apa.
Sesama manusia saudara, harus bisa dipercaya,” ujarnya seperti dikutip dari Kompas.
Sesama manusia saudara, harus bisa dipercaya,” ujarnya seperti dikutip dari Kompas.
Perjuangan Mbah Dauzan telah berhenti
hingga hembusan nafas terakhir dan jazad dimakamkan di Makam Pejuang 45,
Gamping Sleman Yogyakarta. Selamat jalan Pejuang Literasi Indonesia….
Sumber tulisan dikutip dari www. muhammadiyah. or.id dan Kompas
0 comments:
Post a Comment